Sejarah dalam makna objektif adalah peristiwa atau
kejadian, sedangkan dalam makna subjektif adalah cerita tentang suatu peristiwa
yang telah lalu. Cerita sejarah berbeda dengan cerita dalam sastra. Ada
persyaratan ilmiah tertentu dalam penyusunan cerita sejarah, sehingga kebenaran
cerita sejarah dapat dipertanggungjawabkan.
1.
Sejarah sebagai peristiwa
Berbagai
peristiwa atau kejadian yang menyangkut manusia berlangsung setiap saat secara
kronologis di seluruh dunia. Setiap peristiwa yang telah terjadi dapat
dikategorikan dalam peristiwa sejarah. Sehingga yang dimaksud sejarah sebagai
peristiwa adalah setiap peristiwa atau kejadian yang telah terjadi, yang hanya
sekali terjadi dan tidak mungkin diulang lagi.
2.
Sejarah sebagai kisah
Sejarah sebagai
kisah adalah cerita atau kisah tentang suatu peristiwa yang telah terjadi. Beberapa
peristiwa yang telah berlalu ternyata memiliki kesan yang mendalam sehingga
berusaha untuk diungkapkan kembali dalam bentuk cerita atau kisah.
Peristiwa-peristiwa
yang telah terjadi meninggalkan jejak-jejak yang dapat dijadikan sumber untuk
penelusuran kembali tentang bagaimana sesungguhnya peristiwa itu terjadi. Ada
prosedur dan proses tertentu yang disebut metode sejarah yang harus dilalui
dalam penyusunan kembali (rekonstruksi) suatu peristiwa sejarah sehingga kisah
yang dihasilkan objektif dan mendekati peristiwa yang sebenarnya.
3.
Sejarah sebagai ilmu
Menurut York
Powell bahwa sejarah sekedar suatu cerita yang indah, instruktif, dan
mengasyikan, tetapi merupakan cabang ilmu pengetahuan.
Sejarah sebagai
ilmu artinya sejarah ditempatkan sebagai pengetahuan, tentang masa lampau yang
disusun secara sistematis dan memiliki metode pengkajian ilmiah untuk
mendapatkan kebenaran.
Sejarah bisa dikatakan
sebagai ilmu karena memenuhi syarat-syarat keilmuan, yaitu:
a.
Mempunyai objek
yaitu peristiwa yang terjadi di masa lalu.
b.
Adanya metode
sejarah yang menghubungkan bukti-bukti sejarah.
c.
Disusun secara
sistematis berdasarkan rangkaian peristiwanya.
d.
Kebenaran
bersifat objektif, artinya tidak boleh menambah atau mengurangi dalam hal
penyusunan kisah sejarah .
4.
Sejarah sebagai seni
Tokoh yang
berpandangan kuat sejarah sebagai seni adalah George Macauly Travelyan.
Dikatakan sejarah sebagai seni karena untuk menyusun ceritera sejarah tidaklah
mudah, perlu adanya kekuatan intuisi, imajinasi, emosi dan gaya bahasa dari
sejarawan.
a.
Intuisi,
sejarawan dalam melakukan pengkajian mesti didukung oleh insting, ilham,
meskipun tidak terlepas dari data secara objektif.
b.
Imajinasi,
sejarawan perlu memiliki daya imajinasi yang diperlukan dalam menggambarkan
peristiwa atau kejadian secara komplek dan hidup tapi tetap bersandar pada
objektifitas.
c.
Emosi, sejarawan
harus mampu menggambarkan suatu peristiwa/kejadian dengan hidup dan menarik,
sehingga sejarawan harus melibatkan emosi/rasa dalam menyusun cerita seolah
dirinya mengalami sendiri tetapi tetap berpegang teguh pada objektifitas.
d.
Gaya bahasa,
gaya bahasa dalam penulisan sejarah diperlukan tetapi bukan berarti bahwa karya
sejarah itu bahasanya berbelit-belit atau berbunga-bunga, melainkan tetap lugas
dan sistematis tetapi menarik untuk dibaca. Sebagai misal dalam penggunaan
istilah ataupun idiom dapat disesuaikan zamannya masing-masing. Contoh:
penggunaan kata ganyang, diamankan (ditahan), terjang lawan, dan sebagainya.
Tetapi bila dalam penulisan sejarah sebagai seni,
sejarawan lupa pada batas-batas dan standar keilmuan sejarah, maka fungsi
sejarah sebagai seni akan lemah, sebab akan kurang objektif dan terlalu
terbatas pada objek-objek yang ditulis. Oleh karena itu, para siswa perlu
berhati-hati dalam menuliskan suatu peristiwa menjadi ceritera sejarah (hal itu
akan dilatih pada pembahasan penelitian sejarah).
Sumber:
MODUL DAN LEMBAR KERJA SISWA kelas X untuk SMA/MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar