Perkembangan
penulisan sejarah di Indonesia
Upaya penulisan
sejarah (historiografi) berjalan seiring dengan perkembangan masyarakat dan
bangsa Indonesia. Melalui berbagai upaya dan berbagai pengaruh dari perkembangan
ilmu pengetahuan modern, penulisan sejarah menjadi semakin logis dan kritis.
Perkembangan historiografi di Indonesia melalui beberapa tahap, yaitu:
1.
Historiografi Tradisional (Hindu-Budha dan Islam)
Pada umumnya
penulis historiografi kuno adalah para pujangga atau pejabat dalam kerajaan.
Penulisan sejarah pada masa ini hanya berkisar pada masalah pemerintahan dari
raja-raja yang berkuasa pada saat itu, sehingga penulisannya bersifat istana
sentris dan bertujuan untuk memberikan legitimasi pada seorang raja.
Penulisan pada
jaman Hindu-Budha banyak yang dituliskan pada batu yang dikenal dengan nama
prasasti. Contohnya Prasasti Kedu yang dibuat pada masa kerajaan Mataram Kuno
yang berisikan tentang silsilah raja yang pernah memerintah di kerajaan tersebut.
Selain itu, pada jaman Hindu-Budha penulisan juga dibuat dalam bentuk karya
sastra yang sebagian besar berasal dari kerajaan-kerajaan di Jawa Timur.
Contohnya, Pararaton yang berisikan tentang asal-usul Ken Arok, Kitab
Negarakertagama, Kitab Sutasoma, dan sebagainya.
Namun, setelah
Islam masuk ke nusantara terjadi akulturasi kebudayaan yang menghasilkan bentuk
baru dalam penulisan sejarah, yaitu gaya Jawa-Islam. Misalnya Kitab Sastra
Gending yang ditulis oleh Sultan Agung dari kerajaan Mataram Islam yang berisi
tentang ajaran-ajaran filsafat. Selain itu, Sultan Agung juga menulis Kitab
Nitisruti Nitisastra dan Astabrata yang berisi tentang ajaran-ajaran kebaikan
yang bersumber dari Kitab Ramayana.
2.
Historiografi Kolonial
Penulisan
sejarah ini biasanya dilakukan oleh bangsa Belanda ketika menjajah di
Indonesia. Sumber yang mereka gunakan berasal dari negara Belanda sendiri dan
dari Batavia (Jakarta), namun biasanya mereka mengabaikan sumber yang berasal
dari bangsa Indonesia.
Penulisan
sejarah kolonial tidak lepas dari kepentingan penguasa kolonial. Kepentingan
itu mewarnai interpretasi mereka terhadap suatu peristiwa yang tentunya berbeda
dengan penafsiran dari penulis sejarah nasional. Misalnya Perang Diponegoro
dalam pandangan kolonial dianggap sebagai tindakan ekstrimis yang menganggu
stabilitas jalannya pemerintahan. Di sisi lain, bagi penulis sejarah nasional
perlawanan Diponegoro dianggap sebagai perjuangan untuk menegakkan kebenaran,
keaslian, dan rasa cinta tanah air.
3.
Historiografi Nasional
Usaha perintisan
penulisan sejarah nasional muncul setelah kemerdekaan Indonesia. Hal ini
dilatarbelakangi oleh penulisan sejarah yang ada (kolonial) yang bersifat
Belanda sentries. Selain itu, sebagai bangsa yang berdeka juga membutuhkan
penulisan sejarah yang berguna untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dan
menunjukkan jati diri sebagai bangsa. Dengan demikian, penulisan sejarah
nasional harus mempunyai beberapa sifat, diantaranya:
a.
Indonesia
sentries
b.
Sesuai dengan
pandangan bahwa Indonesia sekarang
c.
Disusun oleh
orang Indonesia sendiri sebab dialah yang lebih menjiwai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar