Rabu, 17 Agustus 2016

PERJUANGAN TERHADAP PEMERINTAH PENDUDUKAN JEPANG MELALUI PERJUANGAN FISIK

Kedatangan jepang ke Indonesia membawa semboyan yang simpatik yaitu membebaskan bangsa Asia dari penjajahan bangsa-bangsa Barat, tetapi beberapa saat sejak kedatangannya sudah dirasakan bahwa segala semboyan itu kosong belaka. Mereka dirasakan mulai menindas rakyat Indonesia. Tata kehidupan rakyat beserta norma tidak dihormati bahkan diinjak-injak. Tindakan itu akhirnya menimbulkan berbagai perlawanan rakyat yang akhirnya memuncak pada pemberontakan bersenjata.
1.      Pemberontakan Aceh
Di Aceh timbul pemberontakan dipimpin seorang ulama muda bernama Tengku Abdul Jalil, seorang guru mengaji di Cot Plieng. Jepang membujuk Tengku Abdul Jalil untuk berdamai tapi di tolak.
Tanggal 10 Nopember 1942 pasukan Jepang di Lhokseumawe menyerang Cot Plieng. Dengan senjata tradisional, rakyat beramai-ramai menahan serangan Jepang. Beberapa kali pasukan Jepang dipukul mundur, tetapi setelah Tengku Abdul Jalil tertembak, pemberontakan dapat dipadamkan oleh Jepang dan para pemberontak ditindas dengan kejam. Pada bulan Nopember 1944 pemberontakan di Aceh timbul kembali, yang dilakukan oleh prajurit Gyugun. Teuku Hamid, seorang perwira yang melarikan diri ke hutan, kemudian melakukan perlawanan. Jepang menggunakan siasat licik yaitu mengancam akan membunuh keluarga pemberontak, terpaksa Teuku Hamid akhirnya menyerah.
2.      Pemberontakan PETA di Blitar
Pada tanggal 14 Februari 1945 pecah pemberontakan yang paling menggoncangkan Jepang, karena pemberontakan ini bukan oleh rakyat biasa, melainkan oleh ternyata yang terlatih yaitu PETA.
Pemberontakan PETA berlangsung di Blitar, Jawa Timur dan merupakan pemberotakan terbesar pada masa pendudukan Jepang. Peta dibentuk bulan Oktober 1945, di karesidenan Kediri dibentuk dua Daidan (Batalion) PETA, salah satunya di Blitar yang dipimpin Daidancho Surachmad. Satu Daidan terdiri dari 4 Chudan (Kompi), 12 Syodan (Peleton), dan 48 Bundan (Regu), ditambah beberapa perewira antara lain Dr. Ismangi sebagai dokter batalyon. Tugas mereka melakukan latihan dan mengawasi kerja romusha membuat kubu pertahanan. Setelah mereka menyaksikan betapa berat penderitaan para pekerja yang merupakan bangsanya sendiri maka tergugah hati sanubarinya, betapa buruk perlakuan Jepang terhadap rakyat Indonesia.
Di bawah pimpinan Syodancho Supriyadi, Muradi, Suparyono, Dan Bundancho Sumato Sudarmo Dan Halj, serta Chudancho Ismangi, mereka sepakat melakukan perlawanan terhadap Jepang. Pemberontakan ini diikuti oleh sebagian besar anggota PETA Daidan Blitar. Pemberontakan mengalami kegagalan karena keadaan yang kurang matang, kerjasama antar daidan tidak ada. Pemberontakan dapat dipadamkan, sebagian para komandan dan anak buahnya ditangkap dan diadili di mahkamah militer di Jakarta.
3.      Pemberontakan PETA Gumilir Di Cilacap
Pemberontakan PETA juga berlangsung di Cilacap, Jawa Tengah pada tanggal 20-25 April 1945. Pemberontakan dilakukan oleh para Bundancho (Komandan Regu) dan Giyuhei (Prajurit) dari sebuah kompi peta yang berkedudukan di desa gumilir, cilacap. Pemimpin pemberontakan adalah seorang Heiki Bundancho (komandan regu bagian peralatan dan persenjataan) bernama Kusaeri.
Sebagai upaya menyususn kekuatan, Kusaeri melakukan penggalangan kekuatan ke dalam dan ke luar. Ke dalam ia berusaha mendekati teman-temannya sesama Bundancho, seperti : Sarjono, Sarjono K, Darman, Sukir, Jemiran, Mardiono, Marsan, Masiruh, Anwari, Suwab, Sangin, Suparno, Udi, Dan Wiryosukarto. Ke luar ia berhasil menghimpun dukungan dari Syudancho Sudarwo, Shikihancho Achmadi, Dan Keiri Bundancho Subagyo, yang berasal dari markas batalyon PETA Cilacap.
Pada malam hari tanggal 20 April 1945, setelah berhasil menaklukan petugas piket dan mengambil seluruh persenjataan di gudang, Kusaeri dan teman-temannya berangkat dari markas kompi menuju sasaran penyerangan yaitu sebuah markas Keibital (penjagaan pantai) yang terletak di sekitar Bukit Srandil. Targetnya, setelah markas tersebut dikuasai, kusaeri bermaksud mengajak Batalyon PETA Kroya yang dipimpin Daidancho Sudirman (kemudian jadi panglima besar TKR) untuk bergabung dan melakukan pemberontakan yang lebih besar.
Namun karena rencana telah bocor, sebelum para pemberontak mencapai sasaran, pasukan jepang telah menghadang di daerah Adipala. Terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah pihak. Para pemberontak tercerai berai dan kemudian berhasil ditangkap setelah beberapa hari bersembunyi. Akhirnya, Kusaeri dan 18 orang pemberontak lainnya dibawa ke Jakarta untuk diajukan ke pengadilan militer.
4.      Perlawanan di Singaparna Jawa Barat

Perlawanan ini disebabkan oleh perlakukan bangsa Jepang terhadap rakyat yang sangat kejam terutama adanya kerja romusha. Perlawanan terjadi pada bulan Februari 1944, dibawah pimpinan Kh. Zaenal Mustofa. Perlawanan ini sampai ke Indramayu.

Sumber: MODUL DAN LEMBAR KERJA SISWA kelas XI IPS untuk SMA/MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar