Kedatangan
jepang ke Indonesia membawa semboyan yang simpatik yaitu membebaskan bangsa Asia
dari penjajahan bangsa-bangsa Barat, tetapi beberapa saat sejak kedatangannya
sudah dirasakan bahwa segala semboyan itu kosong belaka. Mereka dirasakan mulai
menindas rakyat Indonesia. Tata kehidupan rakyat beserta norma tidak dihormati
bahkan diinjak-injak. Tindakan itu akhirnya menimbulkan berbagai perlawanan
rakyat yang akhirnya memuncak pada pemberontakan bersenjata.
1.
Pemberontakan
Aceh
Di Aceh timbul
pemberontakan dipimpin seorang ulama muda bernama Tengku Abdul Jalil, seorang guru mengaji di Cot Plieng. Jepang
membujuk Tengku Abdul Jalil untuk
berdamai tapi di tolak.
Tanggal 10 Nopember 1942
pasukan Jepang di Lhokseumawe menyerang Cot Plieng. Dengan senjata tradisional,
rakyat beramai-ramai menahan serangan Jepang. Beberapa kali pasukan Jepang dipukul
mundur, tetapi setelah Tengku Abdul Jalil tertembak, pemberontakan dapat
dipadamkan oleh Jepang dan para pemberontak ditindas dengan kejam. Pada bulan Nopember
1944 pemberontakan di Aceh timbul kembali, yang dilakukan oleh prajurit Gyugun.
Teuku Hamid, seorang perwira yang melarikan diri ke hutan, kemudian melakukan
perlawanan. Jepang menggunakan siasat licik yaitu mengancam akan membunuh
keluarga pemberontak, terpaksa Teuku
Hamid akhirnya menyerah.
2.
Pemberontakan
PETA di Blitar
Pada tanggal 14 Februari
1945 pecah pemberontakan yang paling menggoncangkan Jepang, karena
pemberontakan ini bukan oleh rakyat biasa, melainkan oleh ternyata yang
terlatih yaitu PETA.
Pemberontakan PETA berlangsung
di Blitar, Jawa Timur dan merupakan pemberotakan terbesar pada masa pendudukan Jepang.
Peta dibentuk bulan Oktober 1945, di karesidenan Kediri dibentuk dua Daidan (Batalion)
PETA, salah satunya di Blitar yang dipimpin Daidancho Surachmad. Satu Daidan terdiri
dari 4 Chudan (Kompi), 12 Syodan (Peleton), dan 48 Bundan (Regu), ditambah
beberapa perewira antara lain Dr. Ismangi sebagai dokter batalyon. Tugas mereka
melakukan latihan dan mengawasi kerja romusha membuat kubu pertahanan. Setelah
mereka menyaksikan betapa berat penderitaan para pekerja yang merupakan
bangsanya sendiri maka tergugah hati sanubarinya, betapa buruk perlakuan Jepang
terhadap rakyat Indonesia.
Di bawah pimpinan Syodancho
Supriyadi, Muradi, Suparyono, Dan Bundancho Sumato Sudarmo Dan Halj, serta Chudancho
Ismangi, mereka sepakat melakukan perlawanan terhadap Jepang. Pemberontakan ini
diikuti oleh sebagian besar anggota PETA Daidan Blitar. Pemberontakan mengalami
kegagalan karena keadaan yang kurang matang, kerjasama antar daidan tidak ada.
Pemberontakan dapat dipadamkan, sebagian para komandan dan anak buahnya
ditangkap dan diadili di mahkamah militer di Jakarta.
3.
Pemberontakan
PETA Gumilir Di Cilacap
Pemberontakan PETA juga
berlangsung di Cilacap, Jawa Tengah pada tanggal 20-25 April 1945.
Pemberontakan dilakukan oleh para Bundancho (Komandan Regu) dan Giyuhei (Prajurit)
dari sebuah kompi peta yang berkedudukan di desa gumilir, cilacap. Pemimpin
pemberontakan adalah seorang Heiki Bundancho (komandan regu bagian peralatan
dan persenjataan) bernama Kusaeri.
Sebagai upaya menyususn
kekuatan, Kusaeri melakukan penggalangan kekuatan ke dalam dan ke luar. Ke
dalam ia berusaha mendekati teman-temannya sesama Bundancho, seperti : Sarjono,
Sarjono K, Darman, Sukir, Jemiran, Mardiono, Marsan, Masiruh, Anwari, Suwab,
Sangin, Suparno, Udi, Dan Wiryosukarto. Ke luar ia berhasil menghimpun dukungan
dari Syudancho Sudarwo, Shikihancho Achmadi, Dan Keiri Bundancho Subagyo, yang
berasal dari markas batalyon PETA Cilacap.
Pada malam hari tanggal
20 April 1945, setelah berhasil menaklukan petugas piket dan mengambil seluruh
persenjataan di gudang, Kusaeri dan
teman-temannya berangkat dari markas kompi menuju sasaran penyerangan yaitu
sebuah markas Keibital (penjagaan pantai) yang terletak di sekitar Bukit
Srandil. Targetnya, setelah markas tersebut dikuasai, kusaeri bermaksud
mengajak Batalyon PETA Kroya yang dipimpin Daidancho
Sudirman (kemudian jadi panglima besar TKR) untuk bergabung dan melakukan
pemberontakan yang lebih besar.
Namun karena rencana
telah bocor, sebelum para pemberontak mencapai sasaran, pasukan jepang telah
menghadang di daerah Adipala. Terjadilah pertempuran sengit antara kedua belah
pihak. Para pemberontak tercerai berai dan kemudian berhasil ditangkap setelah
beberapa hari bersembunyi. Akhirnya, Kusaeri
dan 18 orang pemberontak lainnya dibawa ke Jakarta untuk diajukan ke pengadilan
militer.
4.
Perlawanan
di Singaparna Jawa Barat
Perlawanan ini
disebabkan oleh perlakukan bangsa Jepang terhadap rakyat yang sangat kejam
terutama adanya kerja romusha. Perlawanan terjadi pada bulan Februari 1944,
dibawah pimpinan Kh. Zaenal Mustofa.
Perlawanan ini sampai ke Indramayu.
Sumber:
MODUL DAN LEMBAR KERJA SISWA kelas XI IPS untuk SMA/MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar