Rabu, 17 Agustus 2016

Kebijakan Pemerintah Kolonial Terhadap Pergerakan Nasional Indonesia

a.      Politik Moderat
Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum selama memerintah tahun 1916-1921 menerapkan sistem politik moderat. Adapun yang melatabelakangi penerapan sistem tersebut adalah :
1)      Kegagalan politik etis
2)      Muncul pemberontakan-pemberontakan di daerah (Jambi, Pasar Rebo, Cimareme, Toli-Toli) sebagai wujud kegelisahan dan penderitaan sosial masyarakat.
3)      Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum berkeinginan untuk mengadakan perbaikan dan perubahan, dengan acara membentuk komisi perubahan, yang bertugas meninjau kembali kekuasaan dewan rakyat dna struktur administrasi pemerintahan Hindia Belanda.
4)      Perkembangan kehidupan ekonomi yang maju pesat setelah Perang Dunia I.
Dengan sistem moderat ini tercipta hubungan baik antara pemerintah kolonial Belanda dengan tokoh-tokoh organisasi pergerakan atau dengan pribumi.
b.      Politik Reaksioner Pemeritah Kolonial Belanda
Munculnya krisis ekonomi setelah PD I, mengharuskan gubernur Jenderal Fock yang menggantikan Van Limburg Stirum sejak tahun 1921 merubah politik kolonialnya, yakni lebih bersifat reaksioner dan keras. Hal ini menyebabkan strategi organisasi pergerakan nasional berubah ke radikal dan Non Kooperatif (sejak tahun 1922), bahkan mulai muncul pergerakan (1926) dengan wujud pemberontakan di Banten dan Sumatera Barat.
Untuk mengatasi radikalisme yang semakin kuat dari peribumi, maka De Graff sebagai gubernur jenderal menggantikan Fock menerapkan politik penindasan dan bertindak secara keras terhadap para tokoh nasionalis (tindakan cenderung represif).
Puncak pelaksanaan sistem reaksioner dan penindasan terjadi pada masa gubernur Jenderal De Jonge (1931-1936). Pemerintah mengeluarkan aturan larangan berkelompok dan banyak tokoh nasional ditangkap, seperti Bung Karno, Bung Hatta Dan Sutan Syahrir. Beberapa organisasi pergerakan juga dibubarkan, seperti PNI dan Partindo.

Tindakan keras, reaksioner dan represif dari gubernur Jenderal De Jonge, menyebabkan perubahan taktik perjuangan dari Non Kooperasi menjadi perjuangan politik melalui dewan rakyat (Volksraad), seperti yang dilakukan dengan Petisi Sutarjo dan aksi GAPI yaitu “Indonesia Berparlemen”.

Sumber: MODUL DAN LEMBAR KERJA SISWA kelas XI IPS untuk SMA/MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar