Rabu, 17 Agustus 2016

Perlawanan Fisik Abad Ke-19 Terhadap Pemerintah Hindia Belanda

1)        Perlawanan Rakyat Maluku Di Bawah Pimpinan Thomas Matulesi (1817)
Berdasarkan Convention of London (1814) daerah Maluku diserahkan oleh Inggris kepada Belanda. Kedatangan Belanda kembali di Maluku mendapat perlawanan dari rakyat dibawah pimpinan Thomas Matulessy atau Pattimura (1817). Sebab-sebab terjadinya perlawanan:
a)         Penindasan dan pemerasan bangsa Belanda terhadap penduduk Maluku sejak zaman VOC
b)        Ketidakpuasan rakyat terhadap peraturan Gubernur yang mewajibkan rakyat menyediakan perahu bagi pemerintah Belanda.
Sebab khusus, Residen van den Berg menolah tuntutan rakyat untuk membayar harga perahu yang dipesan sesuai harga.
Sebelum rakyat melakukan perlawanan, diadakan rapat dan memilih Thomas Mattulesy sebagai pemimpin perlawanan dengan Gelar Kapitan Pattimura.
Perlawanan dimulai dengan menyerbu benteng Duurstede di Saparua, dan berhasil. Residen van den Berg beserta keluarga dan pengawalnya terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon dan Seram.
Pattimura dibantu beberapa raja seperti Paulus Tiahahu beserta putrinya Christina Martha Tiahahu. Belanda kesulitan merebut kembali benteng Duurstede. Dengan politik Devide Et Impera, beberapa raja dapat diperalat sehingga Saparua dan benteng Duurstede dapat direbut kembali pada 6 Desember 1817. Empat pemimpin perang Maluku yaitu Thomas Mattulessy, Anthoni Rebok, Philip Latumahina Dan Said Parintah dihukum gantung di benteng Victoria di Ambon, dan Ulupaha ditembak mati di Ambon. Dengan gugurnya para pemimpin, perlawanan rakyat berhenti.
2)        Perlawanan Kaum Padri (1821-1838)
Istilah Padri berasal dari kata Padre yang berarti ulama. Perang Padri terjadi di Sumatera Barat. Semula adalah perang saudara antara suku Minang, yaitu pertikaian antara kaum adat yang umumnya berpakaian hitam dengan kaum ulama yang umumnya berpakaian putih. Pertikaian ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk campur tangan. Terjadilah perang suku Minang melawan Belanda dan disebut perang Kolonial yang dilakukan oleh Belanda dengan tujuan menguasai Sumatera Barat.
Sebab-sebab terjadinya perang :
a)         Semula agama islam yang berkembang di Sumatera Barat adalah agama islam aliran tasawuf yang disiarkan dari Aceh. Kemudian berkembang aliran wahabi dari Arab dengan tokoh-tokohnya adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang, dan Tuanku Imam Bonjol. Aliran Wahabi menghendaki ajaran islam yang murni, akibatnya terjadilah pertentangan paham.
b)        Adanya kebiasaan adat yang tidak baik seperti menyabung ayam, minum, dan rokok. Kebiasaan buruk itu dianggap maksiat oleh kaum ulama sehingga ingin diberantas.
c)         Adanya persbedaan hukum adat dengan hukum islam, tentang kedudukan wanita dan hukum waris, yaitu hukum adat matrilinial sedang hukum islam mengenal patrilinial.
d)        Terjadinya perebutan pengaruh antara kaum adat dengan kaum ulama (kaum putih)
e)         Campur tangan bangsa barat yaitu Belanda yang menginginkan kekuasaan.
Sebab khusus : pertemuan antara kaum adat dan kaum ulama untuk mencari penyelesaian di kota tengah gagal. Kaum ulama menyerang kaum adat, sehingga kaum adat meminta bantuan Belanda di Padang (1821).
Perang Padri berlangsung 3 periode :
a)        Periode 1821-1825
Kaum Padri dengan gigih melawan kaum adat yang dibantu Belanda. Belanda mendatangkan bantuan dari Batavia diawah Letkol. Raff dan berhasil mendirikan benteng di Batu Sangkar yang diiberi nama Fort van der Capellen.
Pasukan imam bonjol semakin bertambah besar dengan pusat pertahanannya di Marapalam, Rao-Rao dan Alahan Panjang. Karena Belanda di Jawa sedang menghadapai perang Diponegoro, maka Letkol. Raaf menggunakan siasat berunding, terjadilah Perjanjian Padang (1825) yang berisi kedua pihak tidak saling menyerang, kekuasaan Tuanku Lintau diakui, bersama-sama mengusahakan perlindungan atas lancarnya perdagangan, Belanda tidak akan campur tangan soal agama penduduk.
b)        Periode 1826-1838
Merupakan periode pertengahan dan bagi Belanda untuk ambil nafas. Namun serangan kaum Padri atas kedudukan belanda di Padang Tarab masih berlangsung juga. Sementara pertempuran antara kaum adat dan kaum Padri juga masih berlangsung, Belanda memperkuat kedudukannya dibukit tinggi dengan membuat Benteng Ford De Kock. Dari laut Belanda menembaki daerah Pariaman karena rakyat menetang monopoligaram pemerintah Belanda.
c)         Periode 1831-1836
Setelah perang Diponegoro selesai, Belanda bertekad menyelesaikan perang Padri. Tahun 1831 Letkol Elout mendatangkan pasukan bantuan yang dipimpin Mayor Michaels dan Sentot Ali Basa Prawirodirjo (bekas panglima Diponegoro yang kelak justru membantu kaum Padri). Benteng pertahanan kaum Padri di Tanjung Alam dapat dihancurkan. Tuanku Nan Cerdik menyerah (1833). Imam Bonjol ditangkap dengan siasat perundingan, dibawa ke Batavia, dibuang ke Ambon dan dipindah lagi ke kampung hutan Minahasa (Menado) hingga wafat 6 November 1864.
Akhirnya sleuruh Sumatera Barat jatuh ke tangan Belanda.
Perang Padri mempunyai arti bahwa ;
(1)     Pada periode akhir kaum adat dan kaum ulama bersatu untuk melawan belanda mereka tidak memperuncing perbedaan pahamnya. Adat bersendikan syara’ dan sebaliknya syara’pun dapat besendikan adat.
(2)     Belanda menguasai produksi di daerah Sumatera Barat, ditemukan tambang batu bara di daerah Sawah Lunto, untuk dapat dibangun pelabuhan Teluk Bayur.
3)        Perlawanan Sultan Baharuddin Di Palembang (1819-1825)
Sebab-sebab terjadinya perlawanan Sultan Baharuddin terhadap Belanda, antara lain penyerahan kembali kekuasaan Indonesia dari Inggris pada Belanda. Pengangkapan Sultan Najamudin yang dianggap menentang Belanda. Pada tahun 1821 Sultan Baharuddin ditangkap Belanda dan diasingkan di Ternate, perjuangan dilanjutkan oleh Sultan Najamudin II. Tetapi pada tahun 1825 perlawanan rakyat Palemang dapat diselesaikan Belanda dengan menghapus status kesultanan Palembang.
4)        Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830)
Perlawanan Diponegoro terjadi di jawa tengah. Diponegoro adalah Utera Hamengkubuwono III dari garwo selir. Ia memimpin perlawanan terhadap Belanda disebabkan oleh:
Sebab-sebab umum:
a)         Kekuasaan raja Mataram semakin kecil dan merosot kewibawaannya, setelah Mataram dibagi 4 yaitu Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran dan Pakualaman.
b)        Kaum bangsawan penghasilannya berkurang karena Belanda mengambil alaih tanah milik bangsawan.
c)         Beban rakyat bertambah berat seperti pajak, kerja rodi dan pungutan lain.
Sebab khusus adalah peristiwa Tegalrejo.
Belanda bermaksud membuat jalan melalui makan leluhur Pangeran Diponegoro tanpa izin, sehingga dirasakan sebagai tantangan bagi Pangeran Diponegoro. Perintah Patih Danurejo memasang tiang sebagai tanda akan dibuat jalan dibalas dengan pencabutan tiang itu oleh pengikut Pangeran Diponegoro dan berlanjut dengan perang.
Tanggal 20 Juli 1825 Diponegoro mengangkat senjata walaupun Belanda telah mengirim misi damai dipimpin Pangeran Mangkubumi. Pembicaraan damai sedang berlangsung bedang menyerbu puri Tegalrejo. Diponegoro berhasil meloloskan diri ke Selarong. Diponegoro dibantu oleh P. Mangkubumi, Kyai Mojo, dan Sentot Ali Basa Prawirodirjo. Namun dalam menghadapi Belanda, Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo terdapat perselisihan paham. Menurut Kyai Mojo, Belanda harus dihadapi dengan perang jihad dan terbuka dan masalah agama dan pemerintahan harus dipisahkan. Menurut Pangeran Diponegoro, Belanda harus dihadapi dengan perang gerilya dan masalah agama dan pemerintahan dipegang oleh satu tangan. Itulah sebabnya Pangeran Diponegoro diangkat rakyat sebagai sultan dengan gelar “Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa”, yang berlangsung di desa dekso.
Pertempuran meluas ke Pacitan, Madiun, Rembang, Purwodadi, Semarang, Pekalongan, dan Banyumas. Tahun 1825-1826 pasukan Diponegoro berhasil memukul mundur konvoi-konvoi pasukan Belanda  dan memperoleh kemenangan. Namun sejak tahun 1827-1830 pasukan Diponegoro selalu mengalamai kekalahan, Sentot dan Kyai Mojo menyerah pada Belanda. P. Diponegoro melanjutkan memimpin perang sendiri dengan siasat perang gerilya. Daerah-daerah markas gerilya meliputi Kalisoko, Selarong, Dekso, Plered, Gawok, Pengasih dan Kedu.
Untuk menghadapi siasat gerilya Pangeran Diponegoro, gubernur Jenderal De Kock melaksanakan siasat Benteng Stelsel, sehingga wilayah gerilya P. Diponegoro semakin sempit. Dalam keadaan terdesak P. Diponegoro menerima tawaran perundingan. Perundingan dilaksanakan di Magelang pada bulan Maret 1830 antara Jenderal De Kock dengan Diponegoro. Dalam perundingan, Diponegoro menuntut sebuah negara merdeka dibawah seorang sultan dan juga ingin menjadi Amirul Mukminin di tanah Jawa serta sebagai kepala negara bagi rakyat islam.
Belanda menolak tuntutan Diponegoro, selanjutnya P. Diponegoro ditangkap dan ditawan di Batavia. Kemudian dipindahkan ke Menado dan terakhir di Makasar (Benteng Rotterdam) sampai wafat 8 Pebruari 1855.
5)        Perlawanan Rakyat Sulawesi Selatan (1824-1907)
Setelah Aru Palaka meninggal, rakyat Sulawesi Selatan mengadakan gerakan menentang Belanda yang didukung oleh kerajaan Bone, Ternate, Wajo dan Suppa. Pada 4 Agustus 1824 pasukan Belanda terdesak, menyingkir ke Gowa. Pada 30 Agustus 1824 pasukan Belanda menyerang Suppa, namun dapat dipukul mundur. Pada bulan Oktober 1824 pasukan Bone berhasil menghancurkan pos-pos Belanda di Pangkajene, Labakang dan Ternate. Kerajaan Bone wilayahnya semakin luas dan besar kekuasaannya.
Pada 5 pebruari 1825 Belanda mendatangkan bantuan dari Batavia, kemudian segera mengadakan serangan besar-besaran ke pusat pertahanan Bone. Benteng Bone satu persatu dapat direbut Belanda. Perlawanan rakyat dipadamkan, namun perlawanan kecil masih berkobar hingga awal abad ke-20.
6)        Perlawanan Rakyat Bali (1849-1908)
Usaha belanda untuk menguasai pulau Bali mengakibatkan timbulnya peperangan di Bali. Alasan utama yang dipergunakan Belanda adalah diterapkannya hukum adat yang disebut Hak Tawan Karang. Belanda yang banyak berkepentingan dalam lalu lintas laut menganggap hukum adat itu berbahaya bagi harta dan awak kapalnya. Tahun 1843 diadakan perjanjian agar raja-raja Bali menghapus hukum adat itu. Tahun 1846 pecah perang Buleleng yang dipimpin I Gusti Ketut Jelantik, dan akhirnya Buleleng jatuh ke tangan Belanda.
Belanda dibawah pimpinan Jenderal Van Der Wijck menyerbu Jagaraga karena dilaksanakan Hak Tawan Karang atas kapal Belanda di Kasumba dan Badung (1847). Usaha Belanda gagal merebut Benteng Jagaraga dan Belanda meninggalkan Bali.
Tahun 1849 belanda mendatangkan pasukan kembali ke pulau Bali dipimpin Jenderal Michiels dengan kekuatan yang lebih besar.
Raja Karang Asem melakukan perang puputan akan tetapi Karang Asem berikut Klungkung, Benteng Kasumba dapat direbut Belanda, raja-raja dapat dipaksa menanda tangani perjanjian.
7)        Perlawanan Rakyat Kalimantan Selatan (1859-1862)
Perang Banjar merupakan peperangan di wilayah Kalimantan Selatan.
Sebab-sebab peperangan:
a)         Rakyat tidak senang akan merajalelanya Belanda yang mengusahakan perkebunan dan pertambangan batubara di Kalimantan Selatan.
b)        Belanda selalu mencampuri urusan tahta kerajaan.
c)         Belanda bermaksud menguasai seluruh Kalimantan Selatan dalam rangka pax neerlandica.
Untuk dapat menguasai seluruh Kalimantan Selatan Belanda menggunakan politik pecah belah pada Kesultanan Banjar. Belanda mengangkat Pangeran Tamji’dillah yang pro Belanda dan tidak disukai rakyat. Sultan Adam menginginkan Prabu Anom sebagai penggantinya tetapi ditolah oleh Belanda bahkan Prabu Anom diasingkan ke Jawa.
Akhirnya rakyat dipimpin Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari mengangkat senjata melawan Belanda (1859).
Belanda berusaha menarik perhatian rakyat dengan mengangkat Pangeran Hidayatullah sebagai sultan dan menurunkan Pangeran Tamjidillah, namun Pangeran Hidayatullah menolak usul itu dan terus mengorbankan perang. Namun Pangeran Hidayatullah tertawan oleh Belanda (1862) dan dibuang ke Cianjur. Perlawanan dilanjutkan dipimpin Pangeran Antasari namun Pangeran Antasari terluka hingga meninggal tahun 1862. Dengan demikian berakhirlah perlawanan rakyat, dan seluruh Kalimantan Selatan dikuasai Belanda.
8)        Perlawanan Rakyat Aceh (1873-1904)
Politik ekspansi Belanda untuk mewujudkan Pax Neerlandica tidak terhalang lagi setelah inggris berjanji tidak akan menghalangi Belanda dalam meluaskan daerahnya di Sumatera melalui Treaty Of Sumatera (1871).
Tuntutan Belanda agar aceh tidak berhubungan dengan negara asing lainnya, kecuali dengan Belanda, ditolah oleh tokoh-tokoh Aceh. Ini menjadi sebab khusus perang Aceh.
Ada dua sifat perlawanan Aceh, yaitu bersifat nasional dan keagamaan. Perlawanan bersifat nasional bertujuan mempertahankan kedaulatan Aceh dari usaha penaklukan oleh Belanda. Tokoh-tokohnya adalah kaum bangsawan (teuku), seperti : Teuku Umar, Panglima Polim, Sultan Dawotsyah, Teuku Imam Leung Batta, Cut Banta, dan Cut Nyak Dien. Sedangkan perlawanan bersifat keagamaan cenderung bertujuan menolah penyiaran agama kristen. Tokoh-tokohnya dari golongan ulama (teungku), seperti Teungku Cik Dik Tiro.
Perang Aceh dibagi atas tiga fase, yaitu :
a)        Masa Permulaan Perang (1873-1884)
Pada 26 Maret 1873 Belanda mengumumkan perang kepada Aceh. Serangan pertama Belanda gagal, Jenderal Kohler tewas tertembak. Perlawanan aceh saat itu dipimpin oleh panglima polim.
b)        Masa Konsentrasi Stelsel (1884-1896)
Belanda bermaksud menyelesaikan perang secepat mungkin dengan melancarkan perang terbuka secara besar-besaran. Di tiap daerah yang berhasil dikuasai, dibentuk pemerintahan sipil yang dipertahankan dengan pos-pos penjagaan yang satu sama lain dihubungkan dengan jalan raya (concentratie stelsel). Namun rakyat Aceh yang dipimpin Teuku Umar dan Cut Nyak Dien (isterinya) tetap mengadakan serangan tanpa henti terhadap pos-pos Belanda tersebut.
c)         Masa Akhir Perang (1898-1904)
Tahun 1899 Teuku Umar guru Cut Nyak Dien ditawan dan dibuang ke Jawa Barat, hingga akhirnya meninggal di Sumedang. Perlawanan diteruskan oleh Panglima Polim, tetapi akhirnya menyerah pada tanggal 6 September 1903. Pada bulan Januari 1904 Panglima Polim diangkat sebagai Panglima Mukim Xxii. Dengan peristiwa ini perang Aceh dianggap selesai oleh Belanda.

Setelah perlawanan berakhir, daerah Aceh dibagi-bagi dalam Swapraja. Mereka diikat oleh Belanda dengan menandatangani Plakat Pendek (korte verklaring), yang harus mengakui kekuasaan Belanda.

Sumber: MODUL DAN LEMBAR KERJA SISWA kelas XI IPS untuk SMA/MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar