1)
Perlawanan
Rakyat Maluku Di Bawah Pimpinan Thomas Matulesi (1817)
Berdasarkan Convention of London (1814) daerah Maluku
diserahkan oleh Inggris kepada Belanda. Kedatangan Belanda kembali di Maluku
mendapat perlawanan dari rakyat dibawah pimpinan Thomas Matulessy atau Pattimura
(1817). Sebab-sebab terjadinya perlawanan:
a)
Penindasan dan pemerasan bangsa Belanda terhadap
penduduk Maluku sejak zaman VOC
b)
Ketidakpuasan rakyat terhadap peraturan Gubernur
yang mewajibkan rakyat menyediakan perahu bagi pemerintah Belanda.
Sebab khusus, Residen van den Berg menolah tuntutan
rakyat untuk membayar harga perahu yang dipesan sesuai harga.
Sebelum rakyat
melakukan perlawanan, diadakan rapat dan memilih Thomas Mattulesy sebagai pemimpin perlawanan dengan Gelar Kapitan Pattimura.
Perlawanan
dimulai dengan menyerbu benteng Duurstede di Saparua, dan berhasil. Residen van den Berg beserta keluarga
dan pengawalnya terbunuh. Perlawanan meluas ke Ambon dan Seram.
Pattimura
dibantu beberapa raja seperti Paulus
Tiahahu beserta putrinya Christina
Martha Tiahahu. Belanda kesulitan merebut kembali benteng Duurstede. Dengan
politik Devide Et Impera, beberapa
raja dapat diperalat sehingga Saparua dan benteng Duurstede dapat direbut
kembali pada 6 Desember 1817. Empat pemimpin perang Maluku yaitu Thomas Mattulessy, Anthoni Rebok, Philip
Latumahina Dan Said Parintah dihukum gantung di benteng Victoria di Ambon,
dan Ulupaha ditembak mati di Ambon.
Dengan gugurnya para pemimpin, perlawanan rakyat berhenti.
2)
Perlawanan
Kaum Padri (1821-1838)
Istilah Padri berasal
dari kata Padre yang berarti ulama. Perang Padri terjadi di Sumatera Barat. Semula
adalah perang saudara antara suku Minang, yaitu pertikaian antara kaum adat
yang umumnya berpakaian hitam dengan kaum ulama yang umumnya berpakaian putih.
Pertikaian ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk campur tangan. Terjadilah perang
suku Minang melawan Belanda dan disebut perang Kolonial yang dilakukan oleh Belanda
dengan tujuan menguasai Sumatera Barat.
Sebab-sebab terjadinya
perang :
a)
Semula agama islam yang berkembang di Sumatera
Barat adalah agama islam aliran tasawuf yang disiarkan dari Aceh. Kemudian
berkembang aliran wahabi dari Arab dengan tokoh-tokohnya adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang,
dan Tuanku Imam Bonjol. Aliran Wahabi menghendaki ajaran islam yang murni,
akibatnya terjadilah pertentangan paham.
b)
Adanya kebiasaan adat yang tidak baik
seperti menyabung ayam, minum, dan rokok. Kebiasaan buruk itu dianggap maksiat
oleh kaum ulama sehingga ingin diberantas.
c)
Adanya persbedaan hukum adat dengan
hukum islam, tentang kedudukan wanita dan hukum waris, yaitu hukum adat
matrilinial sedang hukum islam mengenal patrilinial.
d)
Terjadinya perebutan pengaruh antara
kaum adat dengan kaum ulama (kaum putih)
e)
Campur tangan bangsa barat yaitu Belanda
yang menginginkan kekuasaan.
Sebab khusus :
pertemuan antara kaum adat dan kaum ulama untuk mencari penyelesaian di kota
tengah gagal. Kaum ulama menyerang kaum adat, sehingga kaum adat meminta
bantuan Belanda di Padang (1821).
Perang Padri berlangsung
3 periode :
a)
Periode
1821-1825
Kaum
Padri dengan gigih melawan kaum adat yang dibantu Belanda. Belanda mendatangkan
bantuan dari Batavia diawah Letkol. Raff
dan berhasil mendirikan benteng di Batu Sangkar yang diiberi nama Fort van der Capellen.
Pasukan
imam bonjol semakin bertambah besar dengan pusat pertahanannya di Marapalam,
Rao-Rao dan Alahan Panjang. Karena Belanda di Jawa sedang menghadapai perang Diponegoro,
maka Letkol. Raaf menggunakan siasat
berunding, terjadilah Perjanjian Padang (1825) yang berisi kedua pihak tidak
saling menyerang, kekuasaan Tuanku
Lintau diakui, bersama-sama mengusahakan perlindungan atas lancarnya
perdagangan, Belanda tidak akan campur tangan soal agama penduduk.
b)
Periode
1826-1838
Merupakan
periode pertengahan dan bagi Belanda untuk ambil nafas. Namun serangan kaum Padri
atas kedudukan belanda di Padang Tarab masih berlangsung juga. Sementara
pertempuran antara kaum adat dan kaum Padri juga masih berlangsung, Belanda memperkuat
kedudukannya dibukit tinggi dengan membuat Benteng Ford De Kock. Dari laut Belanda menembaki daerah Pariaman karena
rakyat menetang monopoligaram pemerintah Belanda.
c)
Periode
1831-1836
Setelah
perang Diponegoro selesai, Belanda bertekad menyelesaikan perang Padri. Tahun
1831 Letkol Elout mendatangkan
pasukan bantuan yang dipimpin Mayor
Michaels dan Sentot Ali Basa Prawirodirjo
(bekas panglima Diponegoro yang kelak justru membantu kaum Padri). Benteng
pertahanan kaum Padri di Tanjung Alam dapat dihancurkan. Tuanku Nan Cerdik menyerah (1833). Imam Bonjol ditangkap dengan siasat perundingan, dibawa ke Batavia,
dibuang ke Ambon dan dipindah lagi ke kampung hutan Minahasa (Menado) hingga
wafat 6 November 1864.
Akhirnya
sleuruh Sumatera Barat jatuh ke tangan Belanda.
Perang
Padri mempunyai arti bahwa ;
(1) Pada
periode akhir kaum adat dan kaum ulama bersatu untuk melawan belanda mereka
tidak memperuncing perbedaan pahamnya. Adat bersendikan syara’ dan sebaliknya
syara’pun dapat besendikan adat.
(2) Belanda
menguasai produksi di daerah Sumatera Barat, ditemukan tambang batu bara di
daerah Sawah Lunto, untuk dapat dibangun pelabuhan Teluk Bayur.
3)
Perlawanan
Sultan Baharuddin Di Palembang (1819-1825)
Sebab-sebab
terjadinya perlawanan Sultan Baharuddin
terhadap Belanda, antara lain penyerahan kembali kekuasaan Indonesia dari Inggris
pada Belanda. Pengangkapan Sultan
Najamudin yang dianggap menentang Belanda. Pada tahun 1821 Sultan Baharuddin ditangkap Belanda dan
diasingkan di Ternate, perjuangan dilanjutkan oleh Sultan Najamudin II.
Tetapi pada tahun 1825 perlawanan rakyat Palemang dapat diselesaikan Belanda dengan
menghapus status kesultanan Palembang.
4)
Perlawanan
Pangeran Diponegoro (1825-1830)
Perlawanan Diponegoro
terjadi di jawa tengah. Diponegoro
adalah Utera Hamengkubuwono III dari garwo selir. Ia memimpin
perlawanan terhadap Belanda disebabkan oleh:
Sebab-sebab
umum:
a)
Kekuasaan raja Mataram semakin kecil dan
merosot kewibawaannya, setelah Mataram dibagi 4 yaitu Surakarta, Yogyakarta,
Mangkunegaran dan Pakualaman.
b)
Kaum bangsawan penghasilannya berkurang
karena Belanda mengambil alaih tanah milik bangsawan.
c)
Beban rakyat bertambah berat seperti
pajak, kerja rodi dan pungutan lain.
Sebab khusus
adalah peristiwa Tegalrejo.
Belanda
bermaksud membuat jalan melalui makan leluhur Pangeran Diponegoro tanpa izin, sehingga dirasakan sebagai
tantangan bagi Pangeran Diponegoro. Perintah
Patih Danurejo memasang tiang
sebagai tanda akan dibuat jalan dibalas dengan pencabutan tiang itu oleh
pengikut Pangeran Diponegoro dan
berlanjut dengan perang.
Tanggal 20 Juli 1825
Diponegoro mengangkat senjata
walaupun Belanda telah mengirim misi damai dipimpin Pangeran Mangkubumi. Pembicaraan damai sedang berlangsung bedang
menyerbu puri Tegalrejo. Diponegoro
berhasil meloloskan diri ke Selarong. Diponegoro
dibantu oleh P. Mangkubumi, Kyai Mojo,
dan Sentot Ali Basa Prawirodirjo.
Namun dalam menghadapi Belanda, Pangeran
Diponegoro dan Kyai Mojo terdapat
perselisihan paham. Menurut Kyai Mojo,
Belanda harus dihadapi dengan perang jihad dan terbuka dan masalah agama dan
pemerintahan harus dipisahkan. Menurut Pangeran
Diponegoro, Belanda harus dihadapi dengan perang gerilya dan masalah agama
dan pemerintahan dipegang oleh satu tangan. Itulah sebabnya Pangeran Diponegoro diangkat rakyat
sebagai sultan dengan gelar “Sultan
Abdul Hamid Herucokro Amirul Mukminin Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah
Jawa”, yang berlangsung di desa dekso.
Pertempuran
meluas ke Pacitan, Madiun, Rembang, Purwodadi, Semarang, Pekalongan, dan Banyumas.
Tahun 1825-1826 pasukan Diponegoro berhasil
memukul mundur konvoi-konvoi pasukan Belanda
dan memperoleh kemenangan. Namun sejak tahun 1827-1830 pasukan Diponegoro selalu mengalamai kekalahan,
Sentot dan Kyai Mojo menyerah pada Belanda. P. Diponegoro melanjutkan memimpin
perang sendiri dengan siasat perang gerilya. Daerah-daerah markas gerilya
meliputi Kalisoko, Selarong, Dekso, Plered, Gawok, Pengasih dan Kedu.
Untuk menghadapi
siasat gerilya Pangeran Diponegoro,
gubernur Jenderal De Kock melaksanakan
siasat Benteng Stelsel, sehingga wilayah gerilya P. Diponegoro semakin sempit.
Dalam keadaan terdesak P. Diponegoro
menerima tawaran perundingan. Perundingan dilaksanakan di Magelang pada bulan Maret
1830 antara Jenderal De Kock dengan Diponegoro. Dalam perundingan, Diponegoro menuntut sebuah negara
merdeka dibawah seorang sultan dan juga ingin menjadi Amirul Mukminin di tanah Jawa
serta sebagai kepala negara bagi rakyat islam.
Belanda menolak
tuntutan Diponegoro, selanjutnya P. Diponegoro ditangkap dan ditawan di Batavia.
Kemudian dipindahkan ke Menado dan terakhir di Makasar (Benteng Rotterdam)
sampai wafat 8 Pebruari 1855.
5)
Perlawanan
Rakyat Sulawesi Selatan (1824-1907)
Setelah Aru Palaka meninggal, rakyat Sulawesi
Selatan mengadakan gerakan menentang Belanda yang didukung oleh kerajaan Bone, Ternate,
Wajo dan Suppa. Pada 4 Agustus 1824 pasukan Belanda terdesak, menyingkir ke Gowa.
Pada 30 Agustus 1824 pasukan Belanda menyerang Suppa, namun dapat dipukul
mundur. Pada bulan Oktober 1824 pasukan Bone berhasil menghancurkan pos-pos Belanda
di Pangkajene, Labakang dan Ternate. Kerajaan Bone wilayahnya semakin luas dan
besar kekuasaannya.
Pada 5 pebruari
1825 Belanda mendatangkan bantuan dari Batavia, kemudian segera mengadakan
serangan besar-besaran ke pusat pertahanan Bone. Benteng Bone satu persatu
dapat direbut Belanda. Perlawanan rakyat dipadamkan, namun perlawanan kecil
masih berkobar hingga awal abad ke-20.
6)
Perlawanan
Rakyat Bali (1849-1908)
Usaha belanda
untuk menguasai pulau Bali mengakibatkan timbulnya peperangan di Bali. Alasan
utama yang dipergunakan Belanda adalah diterapkannya hukum adat yang disebut Hak
Tawan Karang. Belanda yang banyak berkepentingan dalam lalu lintas laut
menganggap hukum adat itu berbahaya bagi harta dan awak kapalnya. Tahun 1843
diadakan perjanjian agar raja-raja Bali menghapus hukum adat itu. Tahun 1846
pecah perang Buleleng yang dipimpin I
Gusti Ketut Jelantik, dan akhirnya Buleleng jatuh ke tangan Belanda.
Belanda dibawah
pimpinan Jenderal Van Der Wijck menyerbu
Jagaraga karena dilaksanakan Hak Tawan Karang atas kapal Belanda di Kasumba dan
Badung (1847). Usaha Belanda gagal merebut Benteng Jagaraga dan Belanda meninggalkan
Bali.
Tahun 1849
belanda mendatangkan pasukan kembali ke pulau Bali dipimpin Jenderal Michiels dengan kekuatan yang
lebih besar.
Raja Karang Asem
melakukan perang puputan akan tetapi Karang Asem berikut Klungkung, Benteng
Kasumba dapat direbut Belanda, raja-raja dapat dipaksa menanda tangani
perjanjian.
7)
Perlawanan
Rakyat Kalimantan Selatan (1859-1862)
Perang Banjar merupakan
peperangan di wilayah Kalimantan Selatan.
Sebab-sebab
peperangan:
a)
Rakyat tidak senang akan merajalelanya Belanda
yang mengusahakan perkebunan dan pertambangan batubara di Kalimantan Selatan.
b)
Belanda selalu mencampuri urusan tahta
kerajaan.
c)
Belanda bermaksud menguasai seluruh Kalimantan
Selatan dalam rangka pax neerlandica.
Untuk dapat
menguasai seluruh Kalimantan Selatan Belanda menggunakan politik pecah belah
pada Kesultanan Banjar. Belanda mengangkat Pangeran
Tamji’dillah yang pro Belanda dan tidak disukai rakyat. Sultan Adam menginginkan Prabu Anom sebagai penggantinya tetapi
ditolah oleh Belanda bahkan Prabu Anom
diasingkan ke Jawa.
Akhirnya rakyat
dipimpin Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari mengangkat senjata
melawan Belanda (1859).
Belanda berusaha
menarik perhatian rakyat dengan mengangkat Pangeran
Hidayatullah sebagai sultan dan menurunkan Pangeran Tamjidillah, namun Pangeran
Hidayatullah menolak usul itu dan terus mengorbankan perang. Namun Pangeran Hidayatullah tertawan oleh Belanda
(1862) dan dibuang ke Cianjur. Perlawanan dilanjutkan dipimpin Pangeran Antasari namun Pangeran Antasari terluka hingga
meninggal tahun 1862. Dengan demikian berakhirlah perlawanan rakyat, dan
seluruh Kalimantan Selatan dikuasai Belanda.
8)
Perlawanan
Rakyat Aceh (1873-1904)
Politik ekspansi
Belanda untuk mewujudkan Pax Neerlandica
tidak terhalang lagi setelah inggris berjanji tidak akan menghalangi Belanda dalam
meluaskan daerahnya di Sumatera melalui Treaty
Of Sumatera (1871).
Tuntutan Belanda
agar aceh tidak berhubungan dengan negara asing lainnya, kecuali dengan Belanda,
ditolah oleh tokoh-tokoh Aceh. Ini menjadi sebab khusus perang Aceh.
Ada dua sifat
perlawanan Aceh, yaitu bersifat nasional dan keagamaan. Perlawanan bersifat
nasional bertujuan mempertahankan kedaulatan Aceh dari usaha penaklukan oleh Belanda.
Tokoh-tokohnya adalah kaum bangsawan (teuku), seperti : Teuku Umar, Panglima Polim, Sultan Dawotsyah, Teuku Imam Leung Batta,
Cut Banta, dan Cut Nyak Dien.
Sedangkan perlawanan bersifat keagamaan cenderung bertujuan menolah penyiaran
agama kristen. Tokoh-tokohnya dari golongan ulama (teungku), seperti Teungku Cik Dik Tiro.
Perang Aceh dibagi
atas tiga fase, yaitu :
a)
Masa
Permulaan Perang (1873-1884)
Pada
26 Maret 1873 Belanda mengumumkan perang kepada Aceh. Serangan pertama Belanda gagal,
Jenderal Kohler tewas tertembak.
Perlawanan aceh saat itu dipimpin oleh panglima polim.
b)
Masa
Konsentrasi Stelsel (1884-1896)
Belanda
bermaksud menyelesaikan perang secepat mungkin dengan melancarkan perang
terbuka secara besar-besaran. Di tiap daerah yang berhasil dikuasai, dibentuk
pemerintahan sipil yang dipertahankan dengan pos-pos penjagaan yang satu sama
lain dihubungkan dengan jalan raya (concentratie
stelsel). Namun rakyat Aceh yang dipimpin Teuku Umar dan Cut Nyak Dien
(isterinya) tetap mengadakan serangan tanpa henti terhadap pos-pos Belanda tersebut.
c)
Masa
Akhir Perang (1898-1904)
Tahun
1899 Teuku Umar guru Cut Nyak Dien ditawan dan dibuang ke Jawa
Barat, hingga akhirnya meninggal di Sumedang. Perlawanan diteruskan oleh Panglima Polim, tetapi akhirnya menyerah
pada tanggal 6 September 1903. Pada bulan Januari 1904 Panglima Polim diangkat sebagai Panglima Mukim Xxii. Dengan peristiwa ini perang Aceh dianggap
selesai oleh Belanda.
Setelah
perlawanan berakhir, daerah Aceh dibagi-bagi dalam Swapraja. Mereka diikat oleh
Belanda dengan menandatangani Plakat Pendek (korte verklaring), yang harus mengakui kekuasaan Belanda.
Sumber:
MODUL DAN LEMBAR KERJA SISWA kelas XI IPS untuk SMA/MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar